Mimpimu terlalu besar buatku,
dan mimpiku terlalu sederhana buatmu.
Kita akan baik-baik saja tanpa intervensi.
Takkan kutuduh mimpimu terlalu tinggi,
dan harusnya tak kau tanyakan mengapa mimpiku cuma segini?
Jangan paksakan masuk di kotakku yang sempit.
Ruangku tidak berspasi, dan napasnyapun sedikit.
Lalulah dariku,
Biar lalulah cawan ini daripadaku!
Biar lalulah mimpimu buatku.
Aku tidak ingin merasa salah
hanya karena inginku sebatas jadi lampu kamar dalam rumah.
Lalulah cawanmu daripadaku.
Lalulah.
Kumpulan perasaan yang dikemas dalam perjalanan entah kemana; di kereta; di kamar tidur; dan di hati seseorang.
Friday, November 30, 2018
Monday, November 19, 2018
Selamat Ulangtahun
Aku ingat ulangtahunmu,
Namun memutuskan tidak berbuat apa-apa,
sekaligus berbuat segalanya di saat yang sama.
Hadiahku adalah selembar kartu ucapan kosong
yang kutitip pada burung dara pak Ompong.
Salah, dan memang tidak akan sampai.
Diam-diam mencoba memenuhi doamu pada Tuhan;
"Tutup saja jendelanya, oh Tuhan!
Biar cepat lengser aku dari ingatannya!"
Namun memutuskan tidak berbuat apa-apa,
sekaligus berbuat segalanya di saat yang sama.
Hadiahku adalah selembar kartu ucapan kosong
yang kutitip pada burung dara pak Ompong.
Salah, dan memang tidak akan sampai.
Diam-diam mencoba memenuhi doamu pada Tuhan;
"Tutup saja jendelanya, oh Tuhan!
Biar cepat lengser aku dari ingatannya!"
Tuesday, October 30, 2018
Untuknya; yang belum tahu
Ia manis,
pendam mataku.
Dia mirip bunga Daisy kuning kesukaan ibu
yang merekah mekar sejak hari Sabtu.
Bukan favoritku,
tapi mataku dipaksa memaling tau menahu.
Tenggelam, ku dalam matanya,
mirip lebah yang tersesat di padang bunga.
Manis, manis, manis!
Kutahan diri - Ah, begitu miris.
Sebab matanya bom waktu buatku;
Sudah bulat, pun kilaunya begitu.
Jangan tatap aku dalam-dalam, tolong!
Pesonamu tidak akan muat kusimpan hanya di kolong!
pendam mataku.
Dia mirip bunga Daisy kuning kesukaan ibu
yang merekah mekar sejak hari Sabtu.
Bukan favoritku,
tapi mataku dipaksa memaling tau menahu.
Tenggelam, ku dalam matanya,
mirip lebah yang tersesat di padang bunga.
Manis, manis, manis!
Kutahan diri - Ah, begitu miris.
Sebab matanya bom waktu buatku;
Sudah bulat, pun kilaunya begitu.
Jangan tatap aku dalam-dalam, tolong!
Pesonamu tidak akan muat kusimpan hanya di kolong!
Monday, October 22, 2018
Secinta itukah?
Aku menulis banyak;
dalam ruangan tak berbatas ini
ketika kusadari talinya mau lepas saja
dan baranya tidak lagi ada.
Aku menulis banyak;
dalam kertass-kertas kosong
ketika harinya lowong
dan kita sudah tidak banyak omong.
Aku menulis banyak;
dalam kereta menuju Sudimara
ketika ia memutuskan semua
dan menyudahi yang ada.
Tapi aku tidak menulis apa-apa.
Aku tidak pernah menulis apa-apa.
Saat awal ku jawab tanyanya;
aku juga cinta.
Betulkah secinta itu aku padanya,
bila cintapun tidak kutuang pada tinta?
dalam ruangan tak berbatas ini
ketika kusadari talinya mau lepas saja
dan baranya tidak lagi ada.
Aku menulis banyak;
dalam kertass-kertas kosong
ketika harinya lowong
dan kita sudah tidak banyak omong.
Aku menulis banyak;
dalam kereta menuju Sudimara
ketika ia memutuskan semua
dan menyudahi yang ada.
Tapi aku tidak menulis apa-apa.
Aku tidak pernah menulis apa-apa.
Saat awal ku jawab tanyanya;
aku juga cinta.
Betulkah secinta itu aku padanya,
bila cintapun tidak kutuang pada tinta?
Friday, October 12, 2018
Bukan Urusanmu!
Kasihan waktu;
yang terlalu diburu egomu.
Jatuh cinta buru-buru,
matinya pun diburu-buru.
Melupakan memang butuh waktu,
dan kau cukup tau itu urusanku!
Cepat, lambat, tepat atau tersesat,
itu bagianku!
Urusanmu hanya menutup pintu!
yang terlalu diburu egomu.
Jatuh cinta buru-buru,
matinya pun diburu-buru.
Melupakan memang butuh waktu,
dan kau cukup tau itu urusanku!
Cepat, lambat, tepat atau tersesat,
itu bagianku!
Urusanmu hanya menutup pintu!
Thursday, October 11, 2018
Ternyata Aku Penyusup
Aku telah merelakannya di antara daun-daun gugur.
Melebur dengan tanah, bersama harapan yang tak lagi subur.
Sedih dan sepi ikut pergi,
menolak menengok lagi.
Senyumku muncul kali ini.
Sadar, lainnya yang kusayangi masih mengelilingi.
Tiba-tiba hangat penuhi diri,
dan sekali lagi aku punya hati.
Setidaknya sampai salah satu temannya
yang tak dekat, yang baru kukenal bertanya:
"Kalau kamu dengannya,
apa kabar dengan Cinta?"
Aku tertegun.
Ya, maafkan eksistensiku yang hanya seluas asramamu.
Melebur dengan tanah, bersama harapan yang tak lagi subur.
Sedih dan sepi ikut pergi,
menolak menengok lagi.
Senyumku muncul kali ini.
Sadar, lainnya yang kusayangi masih mengelilingi.
Tiba-tiba hangat penuhi diri,
dan sekali lagi aku punya hati.
Setidaknya sampai salah satu temannya
yang tak dekat, yang baru kukenal bertanya:
"Kalau kamu dengannya,
apa kabar dengan Cinta?"
Aku tertegun.
Ya, maafkan eksistensiku yang hanya seluas asramamu.
Kukunci kau, Masa Lalu!
Masa lalu punya ruangannya sendiri.
Aku bersumpah; "Ia selalu kukunci!"
Sambil mengangkat gelasku tinggi,
aku memaki masa lalu enyah jangan kembali.
Mereka terkekeh sambil menggeleng,
"Sepandai-pandainya kunci yang sembunyi,
kau akan kembali dan membebaskannya sekali lagi!"
Dengan pipi merah, dan mata menyipit.
Aku tertawa lebar, karena mereka selalu benar.
Teman-temanku selalu benar.
Aku bersumpah; "Ia selalu kukunci!"
Sambil mengangkat gelasku tinggi,
aku memaki masa lalu enyah jangan kembali.
Mereka terkekeh sambil menggeleng,
"Sepandai-pandainya kunci yang sembunyi,
kau akan kembali dan membebaskannya sekali lagi!"
Dengan pipi merah, dan mata menyipit.
Aku tertawa lebar, karena mereka selalu benar.
Teman-temanku selalu benar.
Senyum
Senyumnya pasar yang ramai,
yang gemerisik di antara tungkai-tungkai santai.
Dan aku--
ayam hidup yang menunggu dipasung mati.
Biar sebentar saja.
Sebentar saja!
Ia kunikmati.
yang gemerisik di antara tungkai-tungkai santai.
Dan aku--
ayam hidup yang menunggu dipasung mati.
Biar sebentar saja.
Sebentar saja!
Ia kunikmati.
Wednesday, September 5, 2018
Kata Seorang Teman
“Sar,
mencintai seseorang itu harus manusiawi.
Bila ia berhenti mencintaimu lebih dulu,
Apa lagi yang bisa dipahami selain menerima perginya sebagai hal yang memang harus lalu?”
— menjawab keresahan "Bagaimana jika ia menemukan cinta baru, dan yang padaku belum juga luruh?"
mencintai seseorang itu harus manusiawi.
Bila ia berhenti mencintaimu lebih dulu,
Apa lagi yang bisa dipahami selain menerima perginya sebagai hal yang memang harus lalu?”
— menjawab keresahan "Bagaimana jika ia menemukan cinta baru, dan yang padaku belum juga luruh?"
Setidaknya
Aku menemukannya pada kursi-kursi tak bertuan; pada kursi dekat toilet lantai 3 yang posisinya tusuk sate, pada kursi besi dekat kantin di bawah payung Starbucks, pada kursi ketiga dari kiri meja pertama di ruang 307, pada kursi besi di samping Mushola lantai dasar, namun waktu kusentuh ia hilang jadi angin.
Aku menemukannya pada meja-meja yang berkabut; pada meja yang ditumpangi kaktus-kaktusnya, pada meja terapih di seberang meja yang sebelumnya, pada meja pertama ruang 305, pada meja besi di bawah payung Starbucks juga, namun saat kucecar ia lenyap dalam kabut.
Aku menemukannya pada jalan-jalan sibuk; pada jalanan deretan Gado-Gado Cikini, pada jalan Sabang, pada jalan parkiran favoritnya, pada jembatan arah Kwitang, pada arah menuju Tanah Abang, pada persimpangan Terminal Pulogebang dan Bintara, namun waktu kupanggil ia menyatu dengan keramaian.
Dan siang tadi, ia adalah yang pertama mataku lihat di perjalanan menuju kantin. Ia menghilang lagi di antara keramaian, lalu muncul di samping ruang kaca transparan dalam perjalanan melepas dahaganya.
Ia nyata kali ini—kuduga.
Hanya, kakiku diam saja memaku di lantai keramik abu-abu.
Mungkin menatapnya dari kejauhan akan membuatnya tinggal lebih lama.
Sebab aku masih ingin mencintainya,
setidaknya dengan durasi yang lebih panjang.
Aku menemukannya pada meja-meja yang berkabut; pada meja yang ditumpangi kaktus-kaktusnya, pada meja terapih di seberang meja yang sebelumnya, pada meja pertama ruang 305, pada meja besi di bawah payung Starbucks juga, namun saat kucecar ia lenyap dalam kabut.
Aku menemukannya pada jalan-jalan sibuk; pada jalanan deretan Gado-Gado Cikini, pada jalan Sabang, pada jalan parkiran favoritnya, pada jembatan arah Kwitang, pada arah menuju Tanah Abang, pada persimpangan Terminal Pulogebang dan Bintara, namun waktu kupanggil ia menyatu dengan keramaian.
Dan siang tadi, ia adalah yang pertama mataku lihat di perjalanan menuju kantin. Ia menghilang lagi di antara keramaian, lalu muncul di samping ruang kaca transparan dalam perjalanan melepas dahaganya.
Ia nyata kali ini—kuduga.
Hanya, kakiku diam saja memaku di lantai keramik abu-abu.
Mungkin menatapnya dari kejauhan akan membuatnya tinggal lebih lama.
Sebab aku masih ingin mencintainya,
setidaknya dengan durasi yang lebih panjang.
Sunday, September 2, 2018
Naskah Amatiran Yang Kutulis Sendiri
Aku membayangkannya duduk di mejanya,
menghadap layar 14" dalam kaos putih kesukaannya
atau kaos biru yang lebih sering ia kenakan
Sambil meneguk teh kemasan yang ia sukai,
matanya turun membaca puisi-puisi
yang adalah dirinya sendiri
--di sini.
Dan waktu malam tiba,
ia mengetik kata "Cinta"
pada layar yang lebih kecil dan menemukan ramainya ia mengemas bahagia.
Ia akan berhenti sejenak melepas kacamata berlensa netralnya,
menutup paksa matanya sambil menghela napas;
lalu menimang-nimang egonya yang duduk di ujung kedua ibu jari
yang gemas membentuk puisi;
"Mungkinkah kita kembali hari ini?"
menghadap layar 14" dalam kaos putih kesukaannya
atau kaos biru yang lebih sering ia kenakan
Sambil meneguk teh kemasan yang ia sukai,
matanya turun membaca puisi-puisi
yang adalah dirinya sendiri
--di sini.
Dan waktu malam tiba,
ia mengetik kata "Cinta"
pada layar yang lebih kecil dan menemukan ramainya ia mengemas bahagia.
Ia akan berhenti sejenak melepas kacamata berlensa netralnya,
menutup paksa matanya sambil menghela napas;
lalu menimang-nimang egonya yang duduk di ujung kedua ibu jari
yang gemas membentuk puisi;
"Mungkinkah kita kembali hari ini?"
Aku Harap Juga Begitu
Hari ini juga ia terlihat baik-baik saja.
Senyum lebar, lagak tegar.
Tidak hanya sekali kutemuinya di sudut-sudut ruang
membakar linting tembakaunya sambil memperdengarkan tawanya yang menggelegar.
Namun pernah sekali,
dulu,
dulu sekali,
ia bilang;
"Pura-pura adalah keahlianku yang utama."
Senyum lebar, lagak tegar.
Tidak hanya sekali kutemuinya di sudut-sudut ruang
membakar linting tembakaunya sambil memperdengarkan tawanya yang menggelegar.
Namun pernah sekali,
dulu,
dulu sekali,
ia bilang;
"Pura-pura adalah keahlianku yang utama."
Wednesday, August 22, 2018
Masihkah Kau Peluk di Sana?
Aku menempelkan ujung hidungku pada pergelangan tangan kiriku pagi ini.
Aku merindukanmu.
Batinku masih memeluk guling di bawah selimut kotak-kotakku yang tipis.
Sayang, harummu yang kusemprotkan kemarin tanpa tahu malu di minimarket dekat rumah sudah pergi. Yang menyisa cuma wangi sabun mandiku yang baru kubeli.
Wanginya yang terbenam semalaman,
hanya kuhirup kadang-kadang pula itu juga dengan ketakutan
--dan keraguan.
Aku takut kalau kuhirup dalam-dalam,
kerinduan akan nyaman.
Aku akan lelap dengan harapan terbangun melihatmu yang kembali terjaga menatap langit-langit pada jam 3 dini hari sambil melipat tangan di balik kepala,
lalu kuutarakan pertanyaan yang sama;
"kenapa kamu belum tidur?"
berurut ketakutanmu tak bangun, lemparan senyuman,
putaran badan dan pelukan yang waktu itu kukenakan.
namun malahan terbangun dengan kekecewaan pada air muka
di pantulan kaca yang juga bingung mau bilang apa
karena memang kita juga tidak lagi ada.
Aku mencoba memenggal keraguan dan percaya saja pada kewarasan,
karena tidak mungkin kan aku tiba-tiba berlari padamu lalu mempertanyakan;
apakah cinta juga masih kau peluk di sana?
Aku merindukanmu.
Batinku masih memeluk guling di bawah selimut kotak-kotakku yang tipis.
Sayang, harummu yang kusemprotkan kemarin tanpa tahu malu di minimarket dekat rumah sudah pergi. Yang menyisa cuma wangi sabun mandiku yang baru kubeli.
Wanginya yang terbenam semalaman,
hanya kuhirup kadang-kadang pula itu juga dengan ketakutan
--dan keraguan.
Aku takut kalau kuhirup dalam-dalam,
kerinduan akan nyaman.
Aku akan lelap dengan harapan terbangun melihatmu yang kembali terjaga menatap langit-langit pada jam 3 dini hari sambil melipat tangan di balik kepala,
lalu kuutarakan pertanyaan yang sama;
"kenapa kamu belum tidur?"
berurut ketakutanmu tak bangun, lemparan senyuman,
putaran badan dan pelukan yang waktu itu kukenakan.
namun malahan terbangun dengan kekecewaan pada air muka
di pantulan kaca yang juga bingung mau bilang apa
karena memang kita juga tidak lagi ada.
Aku mencoba memenggal keraguan dan percaya saja pada kewarasan,
karena tidak mungkin kan aku tiba-tiba berlari padamu lalu mempertanyakan;
apakah cinta juga masih kau peluk di sana?
Saturday, August 18, 2018
#LateUp: Jawabannya Adalah
Ada yang melulu tidak soal kontinuitas.
Sendu hari ini bergabung di dalamnya.
Di bawah langit Tangerang yang hari ini semerbak warnanya,
dengan gurauku padamu; langit mengerti rasa hati.
--mungkin juga sedang menjawab pertanyaanmu; aku bukan siapa-siapa. Hanya gadis biasa yang pura-pura mengerti bahasa angin. Sebab, hari ini untuk pertama kalinya langit salah mengira.
Tuesday, July 31, 2018
Masih Tentang Langit
Langit dan angin seringkali jadi guyonan kita berdua;
"aku titipkan salam untukmu di langit,
sampaikah sudah?"
"peluk hangatku untukmu kusampaikan lewat angin,
aku yakin kamu pakai jaket."
"sinyalku buruk, tengok-tengok langit ya.
Siapa tahu aku menitip rindu padanya buatmu."
"sebentar--kutitipkan salamku pada langit untukmu,
jangan lupa mengintipnya jika aku tidak ada."
---
Dan belum seharipun sejak kita tidak lagi ada,
aku berhenti menatap langit.
Berharap kecil masih ada pesan yang dikirim dari kamar seberang tangga.
"aku titipkan salam untukmu di langit,
sampaikah sudah?"
"peluk hangatku untukmu kusampaikan lewat angin,
aku yakin kamu pakai jaket."
"sinyalku buruk, tengok-tengok langit ya.
Siapa tahu aku menitip rindu padanya buatmu."
"sebentar--kutitipkan salamku pada langit untukmu,
jangan lupa mengintipnya jika aku tidak ada."
---
Dan belum seharipun sejak kita tidak lagi ada,
aku berhenti menatap langit.
Berharap kecil masih ada pesan yang dikirim dari kamar seberang tangga.
Siapa Sangka?
Ada banyak hal yang tidak kumengerti dalam hidup.
Salah satunya adalah kebohonganku tentang langit yang menjadi benar.
"Aku bisa bahasa langit."
Kebohongan pertama yang kuutarakan pada laki-laki yang beristirahat di Kramat.
Sambil menaikkan kacamatanya, ia tersungging tipis.
Kukira ia akan menyebutku gila.
Namun justru ia mempertanyakan hal gila lainnya,
"Bisakah kutitip pesan untuk langit di Kramat? Sendu lah lebih lama. Aku menerus sendu sendirian."
Kala itu senyum tipis muncul di bibirku,
setelah sekian lama tidak ada yang menerima ketidakwarasanku.
---
"Kenapa ya, langitnya terik selalu akhir-akhir ini?"
tanyanya di ujung percakapan kami.
"Langit adalah pribadi yang mengerti. Kenapa harus hujan, kalau hati hati yang di bawahnya sedang larut dalam bahagia?"
Ia menyungging senyum lagi,
"Oh, jadi langit paham betul aku sedang bahagia rupanya?"
Dan senja itu muncul di pipinya, hingga hangatnya menjulur ke dadaku.
---
Seandainya langit bisa bicara, mungkin ia akan mendengus sebal melihat lidahku tak sekali juga kelu bicara tentangnya sambil memakiku kasar, "Dasar orang gila!"
Tapi tak sekalipun juga laki-laki itu menyebutku gila,
ia selalu tersenyum mendengar kebohongan-kebohongan tentang langit yang kusebutkan.
Seakan-akan semuanya adalah petikan kata dari buku yang paling ia suka.
Dan tak sekalipun juga aku percaya pada kebohongan-kebohonganku.
Pada setiap kebohongan yang kuutarakan pula muncul pertanyaan dalam dada;
"Waraskah sebenarnya aku?"
---
Namun siapa sangka, kebohongan-kebohongan itu ternyata adalah benar?
Siapa sangka langit ternyata benar-benar mengikuti rasa hati hati yang bernaung di bawahnya?
Siapa sangka langit ternyata benar-benar pribadi yang mengerti?
Dan siapa sangka pula hari ini cerita langit ternyata harus kusimpan sendiri?
Sebab siapa sangka pula,
laki-laki yang tidak sekalipun menudingku gila itu
memutuskan untuk pergi.
Salah satunya adalah kebohonganku tentang langit yang menjadi benar.
"Aku bisa bahasa langit."
Kebohongan pertama yang kuutarakan pada laki-laki yang beristirahat di Kramat.
Sambil menaikkan kacamatanya, ia tersungging tipis.
Kukira ia akan menyebutku gila.
Namun justru ia mempertanyakan hal gila lainnya,
"Bisakah kutitip pesan untuk langit di Kramat? Sendu lah lebih lama. Aku menerus sendu sendirian."
Kala itu senyum tipis muncul di bibirku,
setelah sekian lama tidak ada yang menerima ketidakwarasanku.
---
"Kenapa ya, langitnya terik selalu akhir-akhir ini?"
tanyanya di ujung percakapan kami.
"Langit adalah pribadi yang mengerti. Kenapa harus hujan, kalau hati hati yang di bawahnya sedang larut dalam bahagia?"
Ia menyungging senyum lagi,
"Oh, jadi langit paham betul aku sedang bahagia rupanya?"
Dan senja itu muncul di pipinya, hingga hangatnya menjulur ke dadaku.
---
Seandainya langit bisa bicara, mungkin ia akan mendengus sebal melihat lidahku tak sekali juga kelu bicara tentangnya sambil memakiku kasar, "Dasar orang gila!"
Tapi tak sekalipun juga laki-laki itu menyebutku gila,
ia selalu tersenyum mendengar kebohongan-kebohongan tentang langit yang kusebutkan.
Seakan-akan semuanya adalah petikan kata dari buku yang paling ia suka.
Dan tak sekalipun juga aku percaya pada kebohongan-kebohonganku.
Pada setiap kebohongan yang kuutarakan pula muncul pertanyaan dalam dada;
"Waraskah sebenarnya aku?"
---
Namun siapa sangka, kebohongan-kebohongan itu ternyata adalah benar?
Siapa sangka langit ternyata benar-benar mengikuti rasa hati hati yang bernaung di bawahnya?
Siapa sangka langit ternyata benar-benar pribadi yang mengerti?
Dan siapa sangka pula hari ini cerita langit ternyata harus kusimpan sendiri?
Sebab siapa sangka pula,
laki-laki yang tidak sekalipun menudingku gila itu
memutuskan untuk pergi.
Ya, Salah Hujan.
Analogikanlah aku sebagai setiap tetes air hujan yang berlomba lari pada kaca jendelamu,
dan yang menggenang di jalanan beton depan asramamu.
Dan artikanlah ini sebagai cinta.
Karena apalagi kalau bukan cinta,
rasa yang dapat menjelaskan gemuruh pada dinding-dinding transparan ini setiap kau duduk di balkon lantai dua?
Memang dasar hujan,
aku ingin menghujanimu dengan cerita,
dengan peluk sejuk, dan kecupan-kecupan mesra pada dahimu
yang tertutup daun-daun kecil.
Sayang, mustahil adalah kenyataan dari kita.
Mencintaimu dengan caraku hanya mengantarkan kita pada pintu-pintu perpisahan yang tertunda.
Dan kehilanganmu adalah hal kedua setelah musim kemarau yang tidak kusambut di muka bumi
--itupun kalau bumi memang bermuka.
Biarlah kali ini cinta diletakkan jauh dari seharusnya,
supaya jarak adalah kewajaran yang selayaknya diterima,
dan biar egoku tidak membludak memaksa menghujanimu;
dengan mengatasnamakan cinta,
lalu membiarkan kemalangan-kemalangan menimpamu saja.
Karena memang salah hujan,
bila hatinya jatuh pada sukulen dalam pot di meja seberang tangga.
dan yang menggenang di jalanan beton depan asramamu.
Dan artikanlah ini sebagai cinta.
Karena apalagi kalau bukan cinta,
rasa yang dapat menjelaskan gemuruh pada dinding-dinding transparan ini setiap kau duduk di balkon lantai dua?
Memang dasar hujan,
aku ingin menghujanimu dengan cerita,
dengan peluk sejuk, dan kecupan-kecupan mesra pada dahimu
yang tertutup daun-daun kecil.
Sayang, mustahil adalah kenyataan dari kita.
Mencintaimu dengan caraku hanya mengantarkan kita pada pintu-pintu perpisahan yang tertunda.
Dan kehilanganmu adalah hal kedua setelah musim kemarau yang tidak kusambut di muka bumi
--itupun kalau bumi memang bermuka.
Biarlah kali ini cinta diletakkan jauh dari seharusnya,
supaya jarak adalah kewajaran yang selayaknya diterima,
dan biar egoku tidak membludak memaksa menghujanimu;
dengan mengatasnamakan cinta,
lalu membiarkan kemalangan-kemalangan menimpamu saja.
Karena memang salah hujan,
bila hatinya jatuh pada sukulen dalam pot di meja seberang tangga.
Sahabat Tersetia Kedua Setelah Tuhan
Kesedihan adalah sahabat tersetia kedua setelah Tuhan.
Ia selalu duduk manis di beranda rumah dengan sabar,
lalu berangsur menguasaiku kelak di atas jam 22.
Dan pada dasarnya aku memanjakannya,
memupuk egoisme dalamnya,
membiarkannya menang dengan sendirinya.
Di pertengahan bulan Mei,
laki-laki itu muncul dan kesedihan pamit pulang.
dengar baik-baik, sayang.
--karena mungkin sekali saja kau dengar:
"Aku bahagia denganmu.
Denganmu, aku bahagia.
Aku, denganmu, bahagia.
Bahagia aku denganmu!
Bahagia denganmu, aku."
Ya, pada dasarnya bodoh dalam hal cinta,
kata-kata bahagia adalah kemutlakan dari percuma.
Karena di pertengahan bulan Juli,
kutemukan lagi sahabat tersetia keduaku setelah Tuhan,
duduk manis di beranda rumah sambil tersungging kecil.
"Selamat pulang ke rumah."
Ia selalu duduk manis di beranda rumah dengan sabar,
lalu berangsur menguasaiku kelak di atas jam 22.
Dan pada dasarnya aku memanjakannya,
memupuk egoisme dalamnya,
membiarkannya menang dengan sendirinya.
Di pertengahan bulan Mei,
laki-laki itu muncul dan kesedihan pamit pulang.
dengar baik-baik, sayang.
--karena mungkin sekali saja kau dengar:
"Aku bahagia denganmu.
Denganmu, aku bahagia.
Aku, denganmu, bahagia.
Bahagia aku denganmu!
Bahagia denganmu, aku."
Ya, pada dasarnya bodoh dalam hal cinta,
kata-kata bahagia adalah kemutlakan dari percuma.
Karena di pertengahan bulan Juli,
kutemukan lagi sahabat tersetia keduaku setelah Tuhan,
duduk manis di beranda rumah sambil tersungging kecil.
"Selamat pulang ke rumah."
Wednesday, July 11, 2018
Yang Lebih Baik Dari Hari Ini
Dalam mimpiku,
kita duduk bersebelahan.
Dalam diam, dengan tenang;
menikmati petikan gitar syahdu lagu-lagumu.
Matamu terpejam lelah.
Seperti kantuk telah penuh di pelupuk mata.
Dan aku seperti orang buta yang belum pernah melihat,
dengan hanya dua tangan ini ingin membacamu hingga tuntas.
Kampas rem jariku mungkin sedang habis,
sudah lama belum kuisi.
Tiap-tiap ujungnya jadi seakan-akan haus
untuk menyentuh tiap sudut-sudut wajahmu.
Telunjukku bergerak pelan menyisir tiap inci rambut-rambut alismu.
Bergerak turun ke pelipis, pelan dan melayang.
Giliran ibu jari yang ngotot minta bagiannya.
Dengan sedikit gemetar, menyentuh bulu matamu.
Bergerak turun ke pipi, berlari ke hidung.
Lalu jari-jari yang lain pun begitu.
Bergantian menghafal wajahmu seakan-akan aku tidak akan lagi melihatnya.
Bibirmu melukis senyum kecil ketika kusentuh kumis tipismu yang hanya di ujung.
Dan benar kata orang-orang, senyuman menular.
Hangatnya senyumanmu seakan memenuhi paru-paruku hingga sesak.
Seperti bunga-bunga tumbuh dalam sekejap,
atau sederhananya hangat sesloki anggur merah orang tua.
Di tengah membacamu, aku tertegun beberapa kali.
Ada rasa yang sulit dijelaskan,
yang muncul dengan pertanyaan;
"hatiku buatmu, apa kamu tahu?"
di dalam hati.
Dan sebelum kedua matamu kembali terbuka,
aku terbangun menatap langit-langit kamarku dengan pertanyaan yang sama.
Tuesday, July 10, 2018
Apa lagi hari ini?
Aku menahan nafasku
di sela-sela maki yang tidak ingin ku dengar,
membiarkan kepalaku saja yang bertanya-tanya;
kata-kata apa lagi yang menggelegar
--hari ini
di sela-sela maki yang tidak ingin ku dengar,
membiarkan kepalaku saja yang bertanya-tanya;
kata-kata apa lagi yang menggelegar
--hari ini
Sebuah Pertanyaan #2
Di ruangan yang lebih besar,
kita duduk pada sudut-sudut yang berbeda,
sambil perlahan-lahan dierosi sunyi;
tapi mengapa ya aku terus merasa ruang ini masih terlalu sempit bagimu tanpa kau bilang begitu?
Pahitnya kenyataan, ruangan ini masih bisa lagi diekspansi.
Tapi aku tidak berani,
karena mungkin bila ya,
yang akan hilang bukan lagi kau,
tapi aku yang berdilema dengan rasa sayang.
Sebab aku tidak sepercaya itu pada angin.
Bagaimana mungkin kita bisa benar-benar mencintai seseorang apabila cinta hanya disampaikan lewat udara?
kita duduk pada sudut-sudut yang berbeda,
sambil perlahan-lahan dierosi sunyi;
tapi mengapa ya aku terus merasa ruang ini masih terlalu sempit bagimu tanpa kau bilang begitu?
Pahitnya kenyataan, ruangan ini masih bisa lagi diekspansi.
Tapi aku tidak berani,
karena mungkin bila ya,
yang akan hilang bukan lagi kau,
tapi aku yang berdilema dengan rasa sayang.
Sebab aku tidak sepercaya itu pada angin.
Bagaimana mungkin kita bisa benar-benar mencintai seseorang apabila cinta hanya disampaikan lewat udara?
Sebuah Pertanyaan #1
"Adakah kau ruang yang lebih besar?"
tanyanya, yang datang dengan goresan-goresan luka yang besaran dan letaknya sama dengan luka-luka di kulitku
"Ruangan ini terlalu sempit untuk kita berdua yang belum tua,
bukannya cinta, kita hanya akan memercik api-api layaknya tukang las,
bedanya yang mungkin menjadi abu adalah kita."
Sambil menatap luka yang tak kunjung kering di epidermis,
aku mengangguk pelan karena ia benar.
tanyanya, yang datang dengan goresan-goresan luka yang besaran dan letaknya sama dengan luka-luka di kulitku
"Ruangan ini terlalu sempit untuk kita berdua yang belum tua,
bukannya cinta, kita hanya akan memercik api-api layaknya tukang las,
bedanya yang mungkin menjadi abu adalah kita."
Sambil menatap luka yang tak kunjung kering di epidermis,
aku mengangguk pelan karena ia benar.
Saturday, June 16, 2018
#LateUp: Semoga, ya.
Sinar matamu yang berpendar,
senyummu yang sering namun sebentar,
wangi asap kretekmu yang memudar,
kamu yang terlampau sabar,
dan bodohnya aku yang gemetar.
Semoga saja aku nanti sadar,
kita cuma kumpulan benturan kebetulan yang kuanggap benar.
senyummu yang sering namun sebentar,
wangi asap kretekmu yang memudar,
kamu yang terlampau sabar,
dan bodohnya aku yang gemetar.
Semoga saja aku nanti sadar,
kita cuma kumpulan benturan kebetulan yang kuanggap benar.
#LateUp: Siapakah airmata?
Pada dasarnya segala rasa cuma fase belaka.
Hari ini mungkin aku lupa, besok bisa jadi suka.
Bisa juga hari ini aku cemas, besokpun bisa jadi otakku tidak di sana.
Seiring waktu berjalan pelan,
aku mulai lupa caranya sentimentil.
Seakan kesedihan memang sudah merupakan hal yang kucemil,
dan kuasanya jadi nihil.
Kata ibuku,
air mata pertanda lelah,
sedang menurutku air mata adalah bentuk kemutlakan
dari lemah.
Tapi perlukah rasa sedih diungkap?
Perlukah wajahku tau senduku yang bukan salahnya?
Perlukah punggung tanganku ikut basah oleh airmata yang bukan urusannya?
Dan siapakah airmata,
sampai kelenjar lakrimalis harus tunduk kepadanya?
Hari ini mungkin aku lupa, besok bisa jadi suka.
Bisa juga hari ini aku cemas, besokpun bisa jadi otakku tidak di sana.
Seiring waktu berjalan pelan,
aku mulai lupa caranya sentimentil.
Seakan kesedihan memang sudah merupakan hal yang kucemil,
dan kuasanya jadi nihil.
Kata ibuku,
air mata pertanda lelah,
sedang menurutku air mata adalah bentuk kemutlakan
dari lemah.
Tapi perlukah rasa sedih diungkap?
Perlukah wajahku tau senduku yang bukan salahnya?
Perlukah punggung tanganku ikut basah oleh airmata yang bukan urusannya?
Dan siapakah airmata,
sampai kelenjar lakrimalis harus tunduk kepadanya?
:-)
Aku ingin menikmati hari ini
dengan langit yang separuh mendung namun tidak sendu,
dan dengan angin sepoi yang menyapu kecil rambutmu
tanya bertanya dulu;
maukah kau disentuh?
dengan langit yang separuh mendung namun tidak sendu,
dan dengan angin sepoi yang menyapu kecil rambutmu
tanya bertanya dulu;
maukah kau disentuh?
Jauh, dari Pa(n)dang
"Sayang", tuturnya lantang
"juga hari ini bintang hanya dapat dilihat dengan
tubuh terlentang, dan kaki telanjang di antara desir ombak
dan gelombang pasang yang menolak tenang."
Dan seperti kapal yang tersangkut pada karang,
dengan sendu kurekam arah pulang.
Meski hingga saatnya nanti petang datang,
Padang masih cuma sebatas bayang-bayang.
"juga hari ini bintang hanya dapat dilihat dengan
tubuh terlentang, dan kaki telanjang di antara desir ombak
dan gelombang pasang yang menolak tenang."
Dan seperti kapal yang tersangkut pada karang,
dengan sendu kurekam arah pulang.
Meski hingga saatnya nanti petang datang,
Padang masih cuma sebatas bayang-bayang.
#LateUp: Dari-Untuk
Hatiku ombak yang ricuh,
menggaduh, bergemuruh.
Namun matamu riak yang tenang,
yang terus lekang,
yang teguh saat pasang.
Aku ingin berenang di riak yang damai,
dan terjebak dalamnya selamanya.
Sambil berharap dinding-dindingnya kedap suara,
dan kau tuli sementara.
--sebab suara jantungku terlalu ricuh untuk bisa kuredam dan genggamku terlalu sempit untuk denyutnya yang berantakkan.
Aku mulai buyar, bersamamu
Tapi resah, absenmu.
Apa tujuan cinta memang hanya sebatas dibuat gusar oleh rindu dan pening oleh hipotesa-hipotesa tak pasti yang mungkin benar?
Ah, sialan.
menggaduh, bergemuruh.
Namun matamu riak yang tenang,
yang terus lekang,
yang teguh saat pasang.
Aku ingin berenang di riak yang damai,
dan terjebak dalamnya selamanya.
Sambil berharap dinding-dindingnya kedap suara,
dan kau tuli sementara.
--sebab suara jantungku terlalu ricuh untuk bisa kuredam dan genggamku terlalu sempit untuk denyutnya yang berantakkan.
Aku mulai buyar, bersamamu
Tapi resah, absenmu.
Apa tujuan cinta memang hanya sebatas dibuat gusar oleh rindu dan pening oleh hipotesa-hipotesa tak pasti yang mungkin benar?
Ah, sialan.
Cerita tujuan Maja
Di kereta tujuan Maja,
kutemukan dia duduk manis di pangkuan ibunya.
Tertawa riang, mengerling manja.
Melompat ke arah ayahnya meminta pelukan,
disambut hangat uluran kedua lengan.
Lengan-lengan lelah yang bercampur dengan mata sayu,
jua pipi itu jatuh di bahu.
Dan di sela tawanya yang panjang,
dan pipi berlesungnya yang terlihat dari belakang,
bunga itu ternyata memilih wajahnya
Di pipi kanan di bawah kantong mata.
Seadanya surut senyumku,
cemasku muncul mulai bersemoga.
Semoga ia tidak merengek dan merobek pipinya
kala ia dewasa nanti
kutemukan dia duduk manis di pangkuan ibunya.
Tertawa riang, mengerling manja.
Melompat ke arah ayahnya meminta pelukan,
disambut hangat uluran kedua lengan.
Lengan-lengan lelah yang bercampur dengan mata sayu,
jua pipi itu jatuh di bahu.
Dan di sela tawanya yang panjang,
dan pipi berlesungnya yang terlihat dari belakang,
bunga itu ternyata memilih wajahnya
Di pipi kanan di bawah kantong mata.
Seadanya surut senyumku,
cemasku muncul mulai bersemoga.
Semoga ia tidak merengek dan merobek pipinya
kala ia dewasa nanti
Kebodohan Bercocok Tanam
Aku ingin bisa,
mencintai seseorang dengan sederhana.
Dengan hanya hati yang cuma paham bahasa cinta dan rindu,
dan yang naif oleh keadaan,
dan yang lupa pernah luka.
Aku ingin mencintai
tanpa amarah
tanpa cemburu
tanpa sedih
tanpa takut
tanpa ragu
tanpa gelisah
tanpa lainnya
dan lainnya.
Bodohnya,
hari ini juga aku masih menanam Cinta di pot yang sama
dengan Gelisah.
mencintai seseorang dengan sederhana.
Dengan hanya hati yang cuma paham bahasa cinta dan rindu,
dan yang naif oleh keadaan,
dan yang lupa pernah luka.
Aku ingin mencintai
tanpa amarah
tanpa cemburu
tanpa sedih
tanpa takut
tanpa ragu
tanpa gelisah
tanpa lainnya
dan lainnya.
Bodohnya,
hari ini juga aku masih menanam Cinta di pot yang sama
dengan Gelisah.
Pertanyaan Maha Benar
Dan tidak ada yang lebih benar daripada pertanyaan "bagaimana".
Bagaimana bisa seseorang mencintai seorang lainnya dengan benar,
jika ia pun tidak mencintai dirinya sendiri?
Kala itu pula saya tersadar,
mungkin ada beribu pertanyaan tanpa jawaban
yang sebenarnya sedang menjawab pertanyaan lainnya yang terlupakan.
Mungkin.
--pertanyaan yang menjawab pertanyaan
"Mengapa tidak sekali pun, kucintai kau dengan benar?"
Bagaimana bisa seseorang mencintai seorang lainnya dengan benar,
jika ia pun tidak mencintai dirinya sendiri?
Kala itu pula saya tersadar,
mungkin ada beribu pertanyaan tanpa jawaban
yang sebenarnya sedang menjawab pertanyaan lainnya yang terlupakan.
Mungkin.
--pertanyaan yang menjawab pertanyaan
"Mengapa tidak sekali pun, kucintai kau dengan benar?"
Subscribe to:
Comments (Atom)
Biarkan Aku Tidur
Aku baru kehilangan ayahku di hari sabtu. Dan pagi ini ada keharusan kehilanganmu. Amarah dan kesedihan campur aduk, Bawah-atas, gigi rah...
-
Jam lima tiga puluh sore hari, rintik hujan kian buatku merenung. Yang membesit adalah tangisku yang pecah di pelukmu, dan yang membe...
-
Seorang di antara kamu dan saya, Terlalu sibuk mencari patahan pensil yang hilang. Dimana pada saat yang sama, Seorang di antara kamu ...
-
Hatiku ombak yang ricuh, menggaduh, bergemuruh. Namun matamu riak yang tenang, yang terus lekang, yang teguh saat pasang. Aku ingin b...