Analogikanlah aku sebagai setiap tetes air hujan yang berlomba lari pada kaca jendelamu,
dan yang menggenang di jalanan beton depan asramamu.
Dan artikanlah ini sebagai cinta.
Karena apalagi kalau bukan cinta,
rasa yang dapat menjelaskan gemuruh pada dinding-dinding transparan ini setiap kau duduk di balkon lantai dua?
Memang dasar hujan,
aku ingin menghujanimu dengan cerita,
dengan peluk sejuk, dan kecupan-kecupan mesra pada dahimu
yang tertutup daun-daun kecil.
Sayang, mustahil adalah kenyataan dari kita.
Mencintaimu dengan caraku hanya mengantarkan kita pada pintu-pintu perpisahan yang tertunda.
Dan kehilanganmu adalah hal kedua setelah musim kemarau yang tidak kusambut di muka bumi
--itupun kalau bumi memang bermuka.
Biarlah kali ini cinta diletakkan jauh dari seharusnya,
supaya jarak adalah kewajaran yang selayaknya diterima,
dan biar egoku tidak membludak memaksa menghujanimu;
dengan mengatasnamakan cinta,
lalu membiarkan kemalangan-kemalangan menimpamu saja.
Karena memang salah hujan,
bila hatinya jatuh pada sukulen dalam pot di meja seberang tangga.
Kumpulan perasaan yang dikemas dalam perjalanan entah kemana; di kereta; di kamar tidur; dan di hati seseorang.
Tuesday, July 31, 2018
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Biarkan Aku Tidur
Aku baru kehilangan ayahku di hari sabtu. Dan pagi ini ada keharusan kehilanganmu. Amarah dan kesedihan campur aduk, Bawah-atas, gigi rah...
-
Jam lima tiga puluh sore hari, rintik hujan kian buatku merenung. Yang membesit adalah tangisku yang pecah di pelukmu, dan yang membe...
-
Seorang di antara kamu dan saya, Terlalu sibuk mencari patahan pensil yang hilang. Dimana pada saat yang sama, Seorang di antara kamu ...
-
Hatiku ombak yang ricuh, menggaduh, bergemuruh. Namun matamu riak yang tenang, yang terus lekang, yang teguh saat pasang. Aku ingin b...
No comments:
Post a Comment