Langit dan angin seringkali jadi guyonan kita berdua;
"aku titipkan salam untukmu di langit,
sampaikah sudah?"
"peluk hangatku untukmu kusampaikan lewat angin,
aku yakin kamu pakai jaket."
"sinyalku buruk, tengok-tengok langit ya.
Siapa tahu aku menitip rindu padanya buatmu."
"sebentar--kutitipkan salamku pada langit untukmu,
jangan lupa mengintipnya jika aku tidak ada."
---
Dan belum seharipun sejak kita tidak lagi ada,
aku berhenti menatap langit.
Berharap kecil masih ada pesan yang dikirim dari kamar seberang tangga.
Kumpulan perasaan yang dikemas dalam perjalanan entah kemana; di kereta; di kamar tidur; dan di hati seseorang.
Tuesday, July 31, 2018
Siapa Sangka?
Ada banyak hal yang tidak kumengerti dalam hidup.
Salah satunya adalah kebohonganku tentang langit yang menjadi benar.
"Aku bisa bahasa langit."
Kebohongan pertama yang kuutarakan pada laki-laki yang beristirahat di Kramat.
Sambil menaikkan kacamatanya, ia tersungging tipis.
Kukira ia akan menyebutku gila.
Namun justru ia mempertanyakan hal gila lainnya,
"Bisakah kutitip pesan untuk langit di Kramat? Sendu lah lebih lama. Aku menerus sendu sendirian."
Kala itu senyum tipis muncul di bibirku,
setelah sekian lama tidak ada yang menerima ketidakwarasanku.
---
"Kenapa ya, langitnya terik selalu akhir-akhir ini?"
tanyanya di ujung percakapan kami.
"Langit adalah pribadi yang mengerti. Kenapa harus hujan, kalau hati hati yang di bawahnya sedang larut dalam bahagia?"
Ia menyungging senyum lagi,
"Oh, jadi langit paham betul aku sedang bahagia rupanya?"
Dan senja itu muncul di pipinya, hingga hangatnya menjulur ke dadaku.
---
Seandainya langit bisa bicara, mungkin ia akan mendengus sebal melihat lidahku tak sekali juga kelu bicara tentangnya sambil memakiku kasar, "Dasar orang gila!"
Tapi tak sekalipun juga laki-laki itu menyebutku gila,
ia selalu tersenyum mendengar kebohongan-kebohongan tentang langit yang kusebutkan.
Seakan-akan semuanya adalah petikan kata dari buku yang paling ia suka.
Dan tak sekalipun juga aku percaya pada kebohongan-kebohonganku.
Pada setiap kebohongan yang kuutarakan pula muncul pertanyaan dalam dada;
"Waraskah sebenarnya aku?"
---
Namun siapa sangka, kebohongan-kebohongan itu ternyata adalah benar?
Siapa sangka langit ternyata benar-benar mengikuti rasa hati hati yang bernaung di bawahnya?
Siapa sangka langit ternyata benar-benar pribadi yang mengerti?
Dan siapa sangka pula hari ini cerita langit ternyata harus kusimpan sendiri?
Sebab siapa sangka pula,
laki-laki yang tidak sekalipun menudingku gila itu
memutuskan untuk pergi.
Salah satunya adalah kebohonganku tentang langit yang menjadi benar.
"Aku bisa bahasa langit."
Kebohongan pertama yang kuutarakan pada laki-laki yang beristirahat di Kramat.
Sambil menaikkan kacamatanya, ia tersungging tipis.
Kukira ia akan menyebutku gila.
Namun justru ia mempertanyakan hal gila lainnya,
"Bisakah kutitip pesan untuk langit di Kramat? Sendu lah lebih lama. Aku menerus sendu sendirian."
Kala itu senyum tipis muncul di bibirku,
setelah sekian lama tidak ada yang menerima ketidakwarasanku.
---
"Kenapa ya, langitnya terik selalu akhir-akhir ini?"
tanyanya di ujung percakapan kami.
"Langit adalah pribadi yang mengerti. Kenapa harus hujan, kalau hati hati yang di bawahnya sedang larut dalam bahagia?"
Ia menyungging senyum lagi,
"Oh, jadi langit paham betul aku sedang bahagia rupanya?"
Dan senja itu muncul di pipinya, hingga hangatnya menjulur ke dadaku.
---
Seandainya langit bisa bicara, mungkin ia akan mendengus sebal melihat lidahku tak sekali juga kelu bicara tentangnya sambil memakiku kasar, "Dasar orang gila!"
Tapi tak sekalipun juga laki-laki itu menyebutku gila,
ia selalu tersenyum mendengar kebohongan-kebohongan tentang langit yang kusebutkan.
Seakan-akan semuanya adalah petikan kata dari buku yang paling ia suka.
Dan tak sekalipun juga aku percaya pada kebohongan-kebohonganku.
Pada setiap kebohongan yang kuutarakan pula muncul pertanyaan dalam dada;
"Waraskah sebenarnya aku?"
---
Namun siapa sangka, kebohongan-kebohongan itu ternyata adalah benar?
Siapa sangka langit ternyata benar-benar mengikuti rasa hati hati yang bernaung di bawahnya?
Siapa sangka langit ternyata benar-benar pribadi yang mengerti?
Dan siapa sangka pula hari ini cerita langit ternyata harus kusimpan sendiri?
Sebab siapa sangka pula,
laki-laki yang tidak sekalipun menudingku gila itu
memutuskan untuk pergi.
Ya, Salah Hujan.
Analogikanlah aku sebagai setiap tetes air hujan yang berlomba lari pada kaca jendelamu,
dan yang menggenang di jalanan beton depan asramamu.
Dan artikanlah ini sebagai cinta.
Karena apalagi kalau bukan cinta,
rasa yang dapat menjelaskan gemuruh pada dinding-dinding transparan ini setiap kau duduk di balkon lantai dua?
Memang dasar hujan,
aku ingin menghujanimu dengan cerita,
dengan peluk sejuk, dan kecupan-kecupan mesra pada dahimu
yang tertutup daun-daun kecil.
Sayang, mustahil adalah kenyataan dari kita.
Mencintaimu dengan caraku hanya mengantarkan kita pada pintu-pintu perpisahan yang tertunda.
Dan kehilanganmu adalah hal kedua setelah musim kemarau yang tidak kusambut di muka bumi
--itupun kalau bumi memang bermuka.
Biarlah kali ini cinta diletakkan jauh dari seharusnya,
supaya jarak adalah kewajaran yang selayaknya diterima,
dan biar egoku tidak membludak memaksa menghujanimu;
dengan mengatasnamakan cinta,
lalu membiarkan kemalangan-kemalangan menimpamu saja.
Karena memang salah hujan,
bila hatinya jatuh pada sukulen dalam pot di meja seberang tangga.
dan yang menggenang di jalanan beton depan asramamu.
Dan artikanlah ini sebagai cinta.
Karena apalagi kalau bukan cinta,
rasa yang dapat menjelaskan gemuruh pada dinding-dinding transparan ini setiap kau duduk di balkon lantai dua?
Memang dasar hujan,
aku ingin menghujanimu dengan cerita,
dengan peluk sejuk, dan kecupan-kecupan mesra pada dahimu
yang tertutup daun-daun kecil.
Sayang, mustahil adalah kenyataan dari kita.
Mencintaimu dengan caraku hanya mengantarkan kita pada pintu-pintu perpisahan yang tertunda.
Dan kehilanganmu adalah hal kedua setelah musim kemarau yang tidak kusambut di muka bumi
--itupun kalau bumi memang bermuka.
Biarlah kali ini cinta diletakkan jauh dari seharusnya,
supaya jarak adalah kewajaran yang selayaknya diterima,
dan biar egoku tidak membludak memaksa menghujanimu;
dengan mengatasnamakan cinta,
lalu membiarkan kemalangan-kemalangan menimpamu saja.
Karena memang salah hujan,
bila hatinya jatuh pada sukulen dalam pot di meja seberang tangga.
Sahabat Tersetia Kedua Setelah Tuhan
Kesedihan adalah sahabat tersetia kedua setelah Tuhan.
Ia selalu duduk manis di beranda rumah dengan sabar,
lalu berangsur menguasaiku kelak di atas jam 22.
Dan pada dasarnya aku memanjakannya,
memupuk egoisme dalamnya,
membiarkannya menang dengan sendirinya.
Di pertengahan bulan Mei,
laki-laki itu muncul dan kesedihan pamit pulang.
dengar baik-baik, sayang.
--karena mungkin sekali saja kau dengar:
"Aku bahagia denganmu.
Denganmu, aku bahagia.
Aku, denganmu, bahagia.
Bahagia aku denganmu!
Bahagia denganmu, aku."
Ya, pada dasarnya bodoh dalam hal cinta,
kata-kata bahagia adalah kemutlakan dari percuma.
Karena di pertengahan bulan Juli,
kutemukan lagi sahabat tersetia keduaku setelah Tuhan,
duduk manis di beranda rumah sambil tersungging kecil.
"Selamat pulang ke rumah."
Ia selalu duduk manis di beranda rumah dengan sabar,
lalu berangsur menguasaiku kelak di atas jam 22.
Dan pada dasarnya aku memanjakannya,
memupuk egoisme dalamnya,
membiarkannya menang dengan sendirinya.
Di pertengahan bulan Mei,
laki-laki itu muncul dan kesedihan pamit pulang.
dengar baik-baik, sayang.
--karena mungkin sekali saja kau dengar:
"Aku bahagia denganmu.
Denganmu, aku bahagia.
Aku, denganmu, bahagia.
Bahagia aku denganmu!
Bahagia denganmu, aku."
Ya, pada dasarnya bodoh dalam hal cinta,
kata-kata bahagia adalah kemutlakan dari percuma.
Karena di pertengahan bulan Juli,
kutemukan lagi sahabat tersetia keduaku setelah Tuhan,
duduk manis di beranda rumah sambil tersungging kecil.
"Selamat pulang ke rumah."
Wednesday, July 11, 2018
Yang Lebih Baik Dari Hari Ini
Dalam mimpiku,
kita duduk bersebelahan.
Dalam diam, dengan tenang;
menikmati petikan gitar syahdu lagu-lagumu.
Matamu terpejam lelah.
Seperti kantuk telah penuh di pelupuk mata.
Dan aku seperti orang buta yang belum pernah melihat,
dengan hanya dua tangan ini ingin membacamu hingga tuntas.
Kampas rem jariku mungkin sedang habis,
sudah lama belum kuisi.
Tiap-tiap ujungnya jadi seakan-akan haus
untuk menyentuh tiap sudut-sudut wajahmu.
Telunjukku bergerak pelan menyisir tiap inci rambut-rambut alismu.
Bergerak turun ke pelipis, pelan dan melayang.
Giliran ibu jari yang ngotot minta bagiannya.
Dengan sedikit gemetar, menyentuh bulu matamu.
Bergerak turun ke pipi, berlari ke hidung.
Lalu jari-jari yang lain pun begitu.
Bergantian menghafal wajahmu seakan-akan aku tidak akan lagi melihatnya.
Bibirmu melukis senyum kecil ketika kusentuh kumis tipismu yang hanya di ujung.
Dan benar kata orang-orang, senyuman menular.
Hangatnya senyumanmu seakan memenuhi paru-paruku hingga sesak.
Seperti bunga-bunga tumbuh dalam sekejap,
atau sederhananya hangat sesloki anggur merah orang tua.
Di tengah membacamu, aku tertegun beberapa kali.
Ada rasa yang sulit dijelaskan,
yang muncul dengan pertanyaan;
"hatiku buatmu, apa kamu tahu?"
di dalam hati.
Dan sebelum kedua matamu kembali terbuka,
aku terbangun menatap langit-langit kamarku dengan pertanyaan yang sama.
Tuesday, July 10, 2018
Apa lagi hari ini?
Aku menahan nafasku
di sela-sela maki yang tidak ingin ku dengar,
membiarkan kepalaku saja yang bertanya-tanya;
kata-kata apa lagi yang menggelegar
--hari ini
di sela-sela maki yang tidak ingin ku dengar,
membiarkan kepalaku saja yang bertanya-tanya;
kata-kata apa lagi yang menggelegar
--hari ini
Sebuah Pertanyaan #2
Di ruangan yang lebih besar,
kita duduk pada sudut-sudut yang berbeda,
sambil perlahan-lahan dierosi sunyi;
tapi mengapa ya aku terus merasa ruang ini masih terlalu sempit bagimu tanpa kau bilang begitu?
Pahitnya kenyataan, ruangan ini masih bisa lagi diekspansi.
Tapi aku tidak berani,
karena mungkin bila ya,
yang akan hilang bukan lagi kau,
tapi aku yang berdilema dengan rasa sayang.
Sebab aku tidak sepercaya itu pada angin.
Bagaimana mungkin kita bisa benar-benar mencintai seseorang apabila cinta hanya disampaikan lewat udara?
kita duduk pada sudut-sudut yang berbeda,
sambil perlahan-lahan dierosi sunyi;
tapi mengapa ya aku terus merasa ruang ini masih terlalu sempit bagimu tanpa kau bilang begitu?
Pahitnya kenyataan, ruangan ini masih bisa lagi diekspansi.
Tapi aku tidak berani,
karena mungkin bila ya,
yang akan hilang bukan lagi kau,
tapi aku yang berdilema dengan rasa sayang.
Sebab aku tidak sepercaya itu pada angin.
Bagaimana mungkin kita bisa benar-benar mencintai seseorang apabila cinta hanya disampaikan lewat udara?
Sebuah Pertanyaan #1
"Adakah kau ruang yang lebih besar?"
tanyanya, yang datang dengan goresan-goresan luka yang besaran dan letaknya sama dengan luka-luka di kulitku
"Ruangan ini terlalu sempit untuk kita berdua yang belum tua,
bukannya cinta, kita hanya akan memercik api-api layaknya tukang las,
bedanya yang mungkin menjadi abu adalah kita."
Sambil menatap luka yang tak kunjung kering di epidermis,
aku mengangguk pelan karena ia benar.
tanyanya, yang datang dengan goresan-goresan luka yang besaran dan letaknya sama dengan luka-luka di kulitku
"Ruangan ini terlalu sempit untuk kita berdua yang belum tua,
bukannya cinta, kita hanya akan memercik api-api layaknya tukang las,
bedanya yang mungkin menjadi abu adalah kita."
Sambil menatap luka yang tak kunjung kering di epidermis,
aku mengangguk pelan karena ia benar.
Subscribe to:
Comments (Atom)
Biarkan Aku Tidur
Aku baru kehilangan ayahku di hari sabtu. Dan pagi ini ada keharusan kehilanganmu. Amarah dan kesedihan campur aduk, Bawah-atas, gigi rah...
-
Jam lima tiga puluh sore hari, rintik hujan kian buatku merenung. Yang membesit adalah tangisku yang pecah di pelukmu, dan yang membe...
-
Seorang di antara kamu dan saya, Terlalu sibuk mencari patahan pensil yang hilang. Dimana pada saat yang sama, Seorang di antara kamu ...
-
Hatiku ombak yang ricuh, menggaduh, bergemuruh. Namun matamu riak yang tenang, yang terus lekang, yang teguh saat pasang. Aku ingin b...