Tuesday, September 19, 2017

Bagaimana Bisa?


Kian makan, kian kenyang.
Kian sayang,
Dengan apa lagi kuredam?

Aku hilang kata-kata setiap berusaha bicara
Bergelut aku dalam sepi yang menyelinap di ruang kita
Memeluk suaramu yang jarang terdengar tapi sering bicara
Bagaimana bisa? Jangan garuk pelipismu.

Ia pria yang bicara padaku dengan sunyi sebagai perantaranya
Namun percaya tidak, selalu kusambut dengan telepati
Misterius, dan membingungkan.
Tidak mudah dicintai, tapi kolamnya penuh dengan cinta.

Di tengah hamparan Bahasa kita yang sederhana,
Dan semua hal baik yang tidak pernah kusesali

Kita masih juga terasa jauh

Terusik

Maumu apa lagi?
Cintaku sudah cukup pudar dimakan waktu.
Sempat aku bodoh menanti,
Namun kau kian sunyi, pun bersuara kau teriakkan “Pergi!
Jangan berani kembali.”

Aku terusik!
Pulang sudah, kau
--ke pondokmu, dan jangan tengok-tengok aku
Tatapanmu yang dulu mendebarkan,
Kini terlalu memuakkan.

Berhentilah, percuma.
Kalau memang cintaku yang kemarin mengetuk pintumu kini,
Oh, berdoalah, sayang.
Untuk lupa!

Karena aku takkan lagi ada.

Yang Ku Kenang Dulu

Jam lima tiga puluh sore hari,
rintik hujan kian buatku merenung.
Yang membesit adalah tangisku yang pecah di pelukmu,
dan yang membekas sisa genangan tak terlihat di kaos polos hitammu.

Dan dua bulan silam,
Kita masih sendiri.
Aku masih cinta,

Tapi kau menolak tahu.

Celoteh Yang Pulang Jam Empat Sore

Aku muak dengan Jakarta.
Jakarta yang sempit namun begitu penuh.
Sesak, dan menusuk.

Yang melayang di udara mayornya bukan lagi O2,
tapi evaporasi keringat dan harum-harum busuk
--yaTuhan, Engkau saja enggan hirup wanginya!

Aku muak dengan Jakarta yang sering berteriak dan penuh makian RW dan B2.
Jakartaku yang penuh, tapi kian kopong.
Mengering, dan membusuk kah--otaknya?

Kepada Jakarta, jam 4 sore;
yang bising dengan klakson, dan langkah yang tergesa
yang panas oleh mesin, dan amarah yang tak redam

Bisakah sekali saja,
kita nikmati senja dalam sunyinya bayangan?

Hipotesa, Hipotesis

Elektrokardiograf di sekat sebelah begitu nyaring, dan bising.
Begitu juga kau
--di sisi yang lain.
Ingin meledak jadinya, aku.
Dan luap sajalah sudah semuanya.

Berhentilah bicara padaku,
setidaknya.
Laranglah aku nyaman.
Laranglah aku rindu!
Karena keduanya adalah hipotesa pasti,
dan aku juga terlalu lelah berurus dengan puanmu kelak.

Elektrokardiograf di sekat sebelah begitu nyaring, dan bising,
Dan, keheningan
--di sisi yang lain

Akankah aku nyaman?
Akankah aku rindu?
Salah satunya masih hipotesa pasti.

Biarkan Aku Tidur

Aku baru kehilangan ayahku di hari sabtu. Dan pagi ini ada keharusan kehilanganmu. Amarah dan kesedihan campur aduk, Bawah-atas, gigi rah...